(Nandang Suherman) |
Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yg selalu menjadi “tameng” oleh Pemerintah Daerah untuk menunjukan kepada publik, bahwa pemerintahannya sudah bersih dan tidak ada penyimpangan dalam hal pengelolaan dan penggunaan keuangan daerah, ternyata tidak demikian adanya. WTP hanya menunjukan bahwa pemerintah daerah sudah melakukan pencatatan keuangan sesuai dengan akuntasi pemerintah daerah. Artinya seluruh transaksi yg dilakukan oleh Pemerintah daerah (penerimaan, belanja, pembiayaan serta aset) daerah sudah tercatat dengan benar dengan didukung alat bukti. Namun tidak menjamin bahwa prosesnya tidak terjadi penyimpangan.
Dari Buku III LHP BPK untuk APBD 2017menunjukan bahwa masih terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan dan berpotensi merugikan keuangan daerah. Dari hasil penelusuran dokumen LHP BPK untuk APBD 2017di beberapa Kabupaten dan Kota di Jawa Timur; yaitu Kab. Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Madiun dan Kota Madiun, ditemukan 34 temuan dengan 127 kasus penyimpangan serta total kerugian daerah sekitar Rp. 17.460.208.682,-
Dari 34 temuan, dilihat dari jenisnya yaitu : Belanja Hibah, kekurangan volume pekerjaan/tidak sesuai konstruksi, kelebihan pembayaran jasa konsultan, kelebihan pembayaran pekerjaan, kelebihan honor/insentif/tunjangan, denda keterlambatan serta kekurangan penerimaan pendapatan daerah.
Dilihat dari jumlah temuan Kab Pacitan yang paling tinggi yaitu 8 temuan dengan rincian 42 kasus, disusul Kab. Madiun 8 Temuan dengan rincian 13 kasus, Kab. trenggalek 6 temuan dengan rincian 17 kasus, Ponorogo 5 temuan dengan rincian 18 kasus, Kab. Tulungagung 5 Temuan dengan rincian 23 kasus, dan Kota Madiun 2 temuan dengan rincian 14 kasus. Sementara bila dilihat dari potensi kerugian daerah, Tulungagung yang paling tinggi yaitu Rp. 3.703.420.441,- Kab. Trenggalek Rp. 3.536.009.291,- Kab. Pacitan Rp. 3.397.016.494,- Kab. Ponorogo Rp. 3.326.308.127,- Kab. Madiun Rp. 2.522.733.676,- dan Kota Madiun Rp. 974.720.653,-
Semestinya DPRD harus melakukan kontrol terhadap hasil temuan ini, dan melaporkan kepada unsur penegak hukum apabila sampai batas waktu 6 bulan belum mengembalikan ke kas daerah. dan aparat hukum harus proaktif untuk menindaklanjuti temuan BPK ini dan diproses sesuai hukum yg berlaku. Selain itu juga, DPRD harus lebih proaktif untuk menjalankan fungsi pengawasannya, karena yg dilakukan audit oleh BPK hanya bersifat sampel alias tidak seluruh kegiatan yg dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Apabila BPK melakukan audit keseluruh kegiatan yg dilaksanakan OPD, maka pasti akan ditemukan lebih banyak temuan dan potensi kerugian daerah akan jauh lebih besar.
Korupsi bisa terjadi manakala diskresi atau wewenangan minus akuntabilitas. Dengan kata lain kewenangan yg melekat dalam pejabat publik harus disertai dengan transparansi dalam pengelolaan serta bisa bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan politik kepada publik.
Nandang Suherman
Anggota Perkumpulan Inisiatif Bandung dan Anggota Dewan Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jakarta.
Tags
Opini