Ilistrasi ; Pemilu Sebagai Pembelajaran Politik Bagi Masyarakat |
Pasca Reformasi tahun 1998 merupakan tonggak awal masyarakat kita bebas untuk berekspresi mengutarakan pendapat dimana sebelumnya dimasa orde baru tidak seperti itu, pasal 28 UUD 1945 benar benar dirasakan dan bisa diaktualisasikan oleh seluruh komponenen negeri ini tidak pandang bulu mulai dari buruh, tani, pedagang, pengusaha, pelajar apalagi mahasiswa yang selalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemimpin yang tidak berpihak pada masyarakat.
Pergantian Pemimpin melalui pemilihan umum bagi masyarakat yang sudah tidak sreg dengan pemimpinnya dirasa itu jalan satu satunya untuk mengganti pemimpinnya tersebut. Begitu juga sebaliknya bagi masyarakat pendukung pemimpin pertahana di masa mendekati pemilihan umum itu jadi aksi pembuktian bahwa pemimpinnya itu lebih baik dan sudah terbukti.
Semua tidak ada salahnya karena bagaimanapun definisi dari Pemilihan Umum adalah suatu proses untuk memilih pemimpin. Pemilihan umum ini diadakan untuk mewujudkan negara yang demokrasi, di mana para pemimpinnya dipilih berdasarkan suara mayoritas terbanyak sehingga bagi calon yang mendapatkan suara terbanyak itu akan ditetapkan menjadi pemimpin.
Pemilihan umum diadakan secara bebas, tiap-tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan maupun paksaan dari siapa pun atau apa pun juga.
Tahapan Pemilihan Umum yang sering kali jadi persoalan adalah Kampanye. Kampanye adalah sebuah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan, dalam hal ini memperoleh dukungan yang mayoritas. Akan tetapi Kampanye acab kali berujung pada konflik horisontal bahkan masuk pada ranah pidana baik melanggar UU Pemilu maupun UU Pidana lainnya.
Berkaca pada beberapa pemilihan umum atau pilkada sebelumnya pada tahapan menjelang pemilihan umum atau pilkada banyak bertebaran di facebook, WA dan media sosial lainnya kontent-kontent yang mengarah pada black campaign, kontent-kontent yang tidak berimbang yang saling menjatuhkan. Didalam media sosial banyak mengumbar aib-aib calon pemimpin baik dengan data maupun tanpa data. Hal tersebut bisa terjerat UU NO 19 TAHUN 2016 Tentang PERUBAHAN ATAS UU NO 11 TAHUN 2008 Tentang INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Pasal 45 A dimana ancaman hukumannya penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 1 milyar.
Pada UU NO 7 TAHUN 2017 Tentang Pemilihan Umum juga demikian, Kegiatan Kampanye secara detail sudah diatur pada BAB VII Pasal 267 s.d Pasal 339 sedangkan untuk ketentuan Pidana Pemilu diatur pada BAB II mulai Pasal 488 s.d 554 setiap penyelenggara pemilu, pesesta pemilu atau masyarakat yang melanggar aturan yang tertuang dalam UU tersebut bisa ditindak sesuai pelanggarannya bahkan jika bisa dikenai pasal berlapis dari UU Pemilu dan UU ITE bahkan dengan UU Pidana lainnya.
Penggunaan Media Sosial yang dianggap biasa oleh masyarakat kita bisa menjerat mereka sendiri karena kurangnya informasi terkait atura hukum yang berlaku. Masyarakat kita dengan mudahnya mendapatkan dan mengeshare lagi kontent-kontent yang melanggar hukum. Maka dari itu hal tersebut jadi pembelajaran politik dan hukum bagi masyarakat kita. Berbicara politik/berpolitik yang santun dan beretika dan tidak melanggar hukum.
Penulis
YUSRON HABIBI. SHI
Aktivis KAHMI Ngawi