Aksi demonstrasi dan desakan masyarakat yang begitu besar berhasil menjatuhkan Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998.
Setelah menyatakan mundur, Soeharto kemudian menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Namun, bukan berarti transisi kekuasaan itu berjalan mulus. Sejumlah rintangan dihadapi Habibie di awal pemerintahan, termasuk pada 22 Mei 1998 ketika kediaman Habibie dan Istana Kepresidenan "dikepung" pasukan bersenjata tanpa sepengetahuan Panglima ABRI saat itu, Jenderal TNI Wiranto.
Hal ini diungkap BJ Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).
Kisah ini bermula saat Pangab Wiranto melaporkan kondisi lapangan, sehari setelah Habibie dilantik pada 22 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB. Wiranto hanya bersedia memberikan laporan itu secara empat mata dengan Habibie.
Saat itu, Wiranto mengungkap ada pasukan Kostrad dari luar Jakarta yang bergerak masuk ke Ibu Kota. Selain itu, sudah ada konsentrasi pasukan yang "mengepung" kediaman Habibie di Kuningan, juga seputar Istana Kepresidenan.
"Dari laporan tersebut saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab," tulis Habibie.
Saat itu Panglima Kostrad dijabat oleh Letjen Prabowo Subianto, yang juga menantu Soeharto.
Habibie sempat curiga "ada skenario tersendiri mengenai laporan yang baru disampaikan Pangab".
Saat itu, dia berpikir untuk mengecek sendiri keadaan di lapangan. Namun, niat itu dibatalkan dan Habibie memilih percaya sepenuhnya kepada Wiranto
Keputusan pun segera diambil. Habibie meminta Wiranto untuk mencopot Prabowo dari jabatan Pangkostrad.
"Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing," demikian perintah Presiden Habibie kepada Pangab Wiranto ketika itu.
Wiranto kemudian bertanya, siapa yang akan menggantikan Prabowo. Ketika itu Habibie menyerahkannya kepada Wiranto.
"Terserah Pangab," ujar Habibie.
Langkah pengamanan terhadap keluarga Presiden Habibie pun dilakukan. Semua anggota keluarga presiden dikumpulkan di Wisma Negara, yang masih berada di Kompleks Istana Kepresidenan.
Meski demikian, Habibie tetap beraktivitas seperti biasa, termasuk persiapan mengumumkan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Setelah memutuskan akan mencopot Prabowo, hal lain yang harus ditentukan adalah mencari penggantinya. Ketika itu Wiranto mengusulkan Panglima Divisi Siliwangi Mayjen Djamari Chaniago.
Namun, karena terkendala jarak maka untuk sementara Letjen Johny Lumintang ditunjuk sebagai Pangkostrad. Habibie menyetujui itu, yang menjadikan Johny Lumintang sebagai Pangkostrad selama 17 jam.
Tiga langkah
Sedangkan penasihat militer Presiden Habibie, Letjen Sintong Panjaitan, mengatakan bahwa Habibie sempat memintanya untuk mengecek apakah ada penentangan terhadap pencopotan Prabowo itu. Sintong kemudian melakukan tiga langkah.
Pertama, Sintong bertanya kepada Jenderal Feisal Tanjung yang ketika itu baru dilantik menjadi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan.
"Kau saja bisa diganti. Apa susahnya mengganti jabatan tentara," jawab Feisal, seperti dikutip dari buku biografi Sintong Panjaitan,Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009).
Setelah itu, Sintong bertanya kepada Pangab Wiranto. Menurut Sintong, Wiranto yang agak tersinggung dengan pertanyaan itu menyanggupi, "Kenapa tidak?".
Ketiga, Sintong kemudian bertanya kepada Kepala Staf Angkatan Darat Subagyo HS. Jawaban senada diucap KSAD. Tiga jawaban ini pun meyakinkan Habibie bahwa tidak ada pergolakan berarti setelah Prabowo dicopot dari Pangkostrad.