Batu akik yang belakangan menjadi daya tarik semua strata sosial, kini menjadi potensi polemik. Hal tersebut terutama dari tata kelola perniagaan, serta pengakuan akan kebanggaan memakai batu akik asli Pacitan yang semakin hari kian memudar. Indikator itu bisa dilihat dari banyaknya warga pecinta akik yang cenderung mengenakan batu dari luar daerah. Misalnya seperti akik bacan, kecubung, giok, serta masih banyak jenis bebatuan lainnya. Fenomena tersebut yang menurut Agus Hariyanto, anggota Kahmi, sebagai fakta riil kalau masyarakat lokal kurang mengakui keindahan ataupun keistimewaan potensi batu mulia asli dari daerahnya sendiri. "Mereka sepertinya lebih bangga ketika mengenakan bebatuan dari luar daerah. Terlebih batu-batu mulia import yang harganya tembus hingga jutaan rupiah. Ini fakta riil, kalau masyarakat di Pacitan masih kurang ngeh dan tidak bangga dengan bebatuan asli dari daerahnya sendiri," kata Agus, Senin (23/2).
Menurut mantan aktivis HMI tersebut, pemerintah daerah diharapkan segera bersikap. Sebagai wilayah penghasil batu akik, atau juga sempat diklaim dengan sebutan "adoh ratu, cedak watu" namun euforia batu akik di kampung halaman mantan Presiden ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu terbilang telat. Beberapa daerah lain di Jawa, lanjut Agus, sudah lebih dulu mempublish potensi-potensi kekayaan batu mulia ke pelosok negeri, atau bahkan manca negara. Misalnya saja Kabupaten Ponorogo dan Wonogiri. Kedua kabupaten di belahan Timur dan tengah pulau Jawa tersebut, sudah sejak lama memperkenalkan bebatuan akik khas miliknya. Misalnya seperti oval atau jenis kalsidon Mrayan. "Yang krusial lagi, masyarakatnya bangga mengenakan bebatuan akik tersebut. Maka tak ayal kalau saat ini harga bebatuan jenis oval bisa tembus hingga jutaan rupiah," beber pria yang juga konsultan pendamping pada program PNPM Mandiri tersebut, kemarin.
Sementara itu, Ketua Konsorsium Kahmi Pacitan, Moh Saptono Nugroho, menambahkan, pemerintah setempat diharapkan segera mengambil langkah dengan merencanakan memproduk regulasi daerah. Akan tetapi, produk aturan nantinya, jangan hanya berkutat pada perlindungan potensi bebatuannya saja. Namun bagaimana, agar masyarakat Pacitan bisa lebih tertarik dan bangga ketika mengenakan bebatuan khas Pacitan. "Pemkab semestinya segera bersikap, memproduk aturan yang khusus mengatur masalah batu akik," ungkap mantan anggota DPRD periode 1999-2004 itu.
Saptono juga berpendapat, demi menggerakkan sektor perekonomian, khususnya pada tata kelola perniagaan batu akik, paling tidak harus diawali dari para pemangku kepentingan didaerah. Khususnya kalangan pejabat, mungkin bisa diwajibkan mengenakan batu akik asli Pacitan. "Bagi yang membangkang, gampang saja kan? Mereka bisa saja dimutasi, atau dilepas jabatannya," tutur Saptono, berkelakar.
Desakan memunculkan Peraturan Daerah terkait bebatuan akik, juga pernah sampai ke telinga lembaga DPRD. Lembaga dibawah kendali Ronny Wahyono itu, sependapat seandainya ada aturan terkait bebatuan mulia tersebut. Namun demikian, sebelum produk regulasi tertinggi di daerah itu dirancang, harus dilakukan kajian-kajian lebih mendalam lagi. Sebab dikhawatirkan, dengan lahirnya Perda, justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah. (yun).