Jika Korupsi di Indoensia Makin berkembang itu bukan salah Presiden tetapi Salah Rakyat
Jika Hukum Tajam Kebawah dan Tumpul Keatas itu bukan salah Presiden tetapi Salah Rakyat
Jika Rakyat makin sengsara itu bukan salah Presiden tetapi Salah Rakyat
Jika Kebijakan Indonesia tidak Pro Rakyat itu bukan salah Presiden tetapi Salah Rakyat
Waktu Pilpres 2014, secara kasat mata pun bisa ditangkap betapa dahsyatnya histeria menyergap seluruh pelosok nusantara. Jokowi pun tampak bagai dewa penyelamat Indonesia. Di bawah Jokowi, semua persoalan bakal selesai, begitu kira-kira bunyi suara yang bergema selama proses Pilpres berlangsung.
Ketika itu jangankan mengkritik Jokowi, bersikap netral saja bisa menjadi bulan-bulanan publik di dunia maya maupun nyata. Dalam hal ini kekuatan rakyat memang luar biasa. Bahkan bisa membuat orang yang seumur hidup belum pernah tinggal di Jakarta bisa menjadi gubernur ibukota. Tak tanggung pula, hanya sepuluh bulan jadi gubernur, dia melesat lagi menjadi presiden RI.
Bagaikan orang sakti mandraguna, ketika Jokowi mengatakan “revolusi mental,” rakyat langsung heboh. Slank, band yang sudah belasan tahun menjadi pujaan anak muda idealis dari kelas menengah ke bawah, pun sampai menggelar pertunjukan besar musik bertema ‘Revolusi Mental’. Sekitar 100 ribu orang hadir dalam pergelaran musik gratis tersebut.
Para intelektual juga tak mau ketinggalan. Mereka berlomba-lomba menterjemahkan arti revolusi mental. Mereka bahkan rajin menggelar seminar, diskusi dan sebagainya di berbagai tempat untuk mencari pembenaran terhadap revolusi tersebut. Ada juga yang rajin menulis di media massa, bahkan buku, tentang arti penting “revolusi mental” ala Jokowi bagi masa depan Indonesia.
Media massa pun memainkan peran dengan menutupi kenyataan bahwa Jokowi sebenarnya sama sekali bukan wong cilik. Nyaris taka da yang menulis kenyataan bahwa Jokowi adalah pengusaha besar di bidang wood based industry. Bersama kepala staf kepresidenan Letjen (Purn) Luhut Panjaitan, Jokowi juga sudah lama memiliki pabrik besar, modern, berkelas internasional, dan beorientasi ekspor di Klaten, Jawa Tengah. Pabrik ini milik PT Rakabu Sejahtera, yang sahamnya dibagi nyaris sama antara Jokowi dengan Luhut.
Dengan kata lain, rakyat dari semua lapisan melakukan kesalahan karena memuja Jokowi bagai dewa, sehingga tak mungkin berbuat kesalahan dan hidupnya hanya dicurahkan untuk kepentingan rakyat. Sampai beberapa bulan lalu, pemujaan ini terasa masih sangat kuat. Pemujaan ini juga terkait dengan keyakinan pada ‘Jokowi Effect’ yang dipercaya bisa menyembuhkan perekonomian dari kelesuan.
Bahkan TIME (9 April 2014) sampai memuat artikel berjudul ‘The ‘Jokowi Effect’ Could Be the Most Important Thing in Indonesia’s Elections’. Dalam tulisan itu efek Jokowi digambarkan sebagai “Gubernur Jakarta Joko Widodo, biasa dipanggil Jokowi, yang telah dipercaya sebagai penyebab naiknya segala sesuatu dari harga saham di bursa Jakarta dan rupiah sampai kepentingan rakyat dalam proses pemilihan umum.”
Ternyata aku juga salah pilih
ReplyDelete